WARNING!!! Tulisan ini panjang. so TIDAK USAH DIBACA kecuali pecinta kubra dagli dan para jomblo
by Alvein Damar
Lima, Ibukota Peru, di bulan Oktober 2016 menjadi saksi munculnya tim Taekwondo BERHIJAB. Bukan saja hadir dan menjadi peserta dalam kejuaraan dunia Taekwondo, atlet muslimah dengan hijabnya ini menjadi juara dunia. Meraih medali emas kategori Poomsae (seni) di The World Taekwondo Championships. Adalah KUBRA DAGLI yang menjadi tokoh utamanya. Bersama timnya, Kubra Dagli mengangkat nama negaranya ke puncak tertinggi pada kejuaraan dunia Taekwondo di Peru 2016 tersebut.
Atlet dari Turki ini berpikir, prestasi dunia yang diraih bersama timnya akan mendapatkan apresiasi dari seluruh masyarakat Turki. Menyatukan dan memberi semangat bagi perempuan-perempuan muslimah lainnya di Turki.
Ternyata respon yang didapat diluar dugaannya. Alih-alih membahas soal kemenangan yang mengharumkan nama negara, perjuangan yang dilakukan atau beratnya proses menjadi juara dunia terutama saat latihan di bulan Ramadhan, warga Turki terutama netizen justru sibuk membahas soal HIJAB yang dikenakannya.
Yap. HIJAB.
Ada dua arus utama yang bersuara menyambut kemenangannya. Koran independen, Inggris, Kamis, 20 October 2016 menuliskan headline ” Hijab-wearing Taekwondo champion divides opinion in Turkey “. Memecah masyarakat Turki menjadi dua. Dasyat khan!
Pendapat pertama muncul dari kelompok yang menganggap bahwa dirinya paradoks dalam menjalankan keyakinannya. Sebagai Muslimah, Hijabnya percuma dikenakan. Walaupun bagian atasnya ditutup, bagian kakinya diperlihatkan dengan bebas. Mereka menganggap, Kubra Dagli tak lebih dari sebuah komoditi. ” Bare feet, head covered, thighs and hips exposed. You’re just a commodity. What’s appropriate in this? ” adalah contoh komentar yang menyerangnya. Kelompok ini juga ada yang menyarankan tanpa Hijab, dia bisa berprestasi juga. Jadi sekalian aja dilepas. Pendapat kedua, menganggap dia lebih baik di rumah dan menjadi JUARA membaca Al-Quran.
Respon dari masyarakat Turki ini membuatnya terganggu. Dagli mengatakan dalam beberapa wawancara bahwa dia menentang diskriminasi dalam segala bentuknya dan menekankan kemampuan profesionalnya sebagai atlet adalah yang penting.
“They don’t speak of my success, but of my headscarf. I don’t want this. Our success should be discussed. We made so much effort. We made our country and our team world champions. This is our joint pride,” tulisnya di akun media sosial miliknya.
Asu Maro, kolumnis dari surat kabar harian Milliyet, menyatakan, dalam kasus Kubra Dagli sebetulnya isu utamanya bukanlah HIJAB. Baik yang menyarankan melepas Hijab atau yang mendukung mengenakan Hijab memiliki kesamaan. kedua kelompok ini bersatu dalam satu narasi yaitu meminta perempuan DIAM di rumah.
Apa yang dialami oleh atlet Taekwondo Turki Kubra Dagli ini menjadi contoh lain betapa kegenitan masyarakat dalam menjalankan semangat keagamaannya-religiusitasnya sudah pada taraf mengganggu dan intimidatif. Tak terkecuali Turki.
Dalam kasus Kubra Dagli, bukan larangan berhijab saat bertanding yang jadi pusat perhatian. Justru pokok bahasan sudah masuk ranah ideologi dan religi. Soal tafsir hijab dan peranan perempuan muslimah di ruang publik.
HIJAB yang dikenakannya saat pertandingan tidak menjadi masalah World Taekwondo Federation (WTF), induk organisasi internasional olahraga Taekwondo. Hijab juga tidak melanggar aturan pertandingan Taekwondo baik untuk kategori poomsae (peragaan jurus, seni) dan kyorugi (pertarungan). Diterimanya hijab dengan mulus untuk kategori Kyorugi sekalipun, bisa jadi disebabkan aturan yang mengharuskan atlet menggunakan head protector yang menutupi kepala dengan ketat. Terutama bagian samping dan belakang kepala. Maka dengan adanya pelindung kepala ini membuat ada tidaknya hijab bukan persoalan.
Aturan dan regulasi Taekwondo ini mirip dengan beladiri Jepang yaitu Shorinji Kempo. Kempo juga mengharuskan penggunaan head protector yang ketat sehingga atlet berhijab pun tidak ada masalah. Berbeda dengan cabang beladiri dari Jepang lainnya seperti Karate dan Judo. Sebagai informasi, Karate hanya menggunakan face protector untuk melindungi bagian wajah depan. Penerapannya pun untuk kelas pra pemula hingga junior. Hal ini dikarenakan dalam kategori Kumite (pertarungan), Karate menganut sistem semi full body contact dengan full control pada pukulan dan tendangan. Area leher dan bagian belakang kepala adalah area terlarang. mengenai area ini merupakan pelanggaran berat
Judo sendiri dalam pertandingannya identik dengan teknik bantingan pada jarak rapat dan ground fighting yang dominan teknik kuncian dan cekikan. Leher justru menjadi salah satu bagian dari area serangan dengan teknik kuncian dan cekikan sehingga ada aturan pertandingan dan regulasi larangan penggunaan segala jenis penutup kepala dan leher. Larangan ini demi alasan keamanan atlet. Penggunaan hijab dianggap menambah besar resiko cidera. Aturan ini juga berlaku untuk BLIND JUDO.
Alasan keamanan atlet inilah yang pada awalnya menjadi argumentasi kuat untuk menolak penutup kepala termasuk hijab. Keselamatan atlet adalah acuannya, berdasarkan pertimbangan yang telah dikaji praktisi dan ahli. Regulasi berlaku internasional tanpa melihat identitas agama, etnis dan budaya suatu negara.
Oktober 2018 kembali terjadi adanya larangan atlet berhijab. Kasus ini terjadi pada cabang olahraga BLIND JUDO yang dipertandingkan pada multi event Asian Paragames yang sedang berlangsung di Indonesia. Seperti biasa, berita tentang larangan ini ramai diperbincangkan dan pembicaraan pun kembali meluas ke wilayah agama.
Sekedar mengingatkan, kehadiran atlet muslimah di kancah multi event dunia bukanlah suatu hal yg hadir dari ruang hampa. Atlet berhijab bisa ikut serta hadir dalam perhelatan akbar seperti olimpiade dan paraolimpiade ada perjuangannya. Khusus utk kehadiran Hijab sendiri sejarahnya cukup panjang. Hijab sport yang dikenakan atlet saat ini adalah buah dari perjuangan atlet cabang olahraga Karate. Atlet dan delegasi IRAN tahun 2006. Selama 7 tahun sejak protes 2006 itu, atlet-atlet muslimah memperlihatkan perjuangannya. Dominasinya pada kompetisi regional, wilayah hingga dunia. Ditopang dengan jumlah pertumbuhan murid Karate di kawasan Asia, Timur Tengah dan pecahan Soviet serta banyaknya prestasi dunia yang diukir oleh atlet-atlet muslimah ini, maka hijab diterima secara internasional tahun 2013 oleh badan dunia Karate yaitu World karate Federation (WKF). Penggunaan hijab sport di cabang Judo juga dipicu protes dari atlet dan delegasi Arab saudi saat Olimpiade London 2012. Olimpiade London ini jugalah menjadi tonggak sejarah bukan saja hadirnya hijab di arena Judo tapi juga terlibatnya atlet Muslimah dengan hijabnya di event internasional.
Apakah hadirnya Hijab Sport menyelesaikan kehebohan soal larangan berhijab di tanah air? TIDAK
Argumentasi keselamatan atlet hilang ditelan isu agama. Seakan pembuat dan penyusun aturan pertandingan adalah kelompok yang rasis. Faktor keselamatan atlet yang menjadi pertimbangan utama sirna berganti narasi mereka telah melakukan diskriminasi. Ketika disodorkan fakta bahwa hijab telah diterima dalam pertandingan dunia, dengan santainya, kelompok ini menganggap bentuk HIJAB yang digunakan dan telah diterima oleh federasi olahraga dunia tersebut tidak SYAR’I. Tidak memenuhi syarat yang ditentukan syariah. Versi mereka tentunya.
Terkadang, berhadapan dengan individu atau kelompok yang menganggap dirinya dan/atau kelompoknya adalah center of universe memang merepotkan. Menganggap diri sebagai pusat semesta dan orang lain harus mengikuti mereka. Menganggap tafsir Hijab tunggal dan merekalah pemegang kebenaran tunggal tersebut. Orang lain harus mengikuti mereka. Aturan apapun HARUS diubah dalam sekejab sesuai dengan keinginan mereka. Persis seperti pendapat yang dilontarkan masyarakat Turki kepada atlet Taekwondo Kubra Dagli tadi. Muslimah sebaiknya lepas Hijab bila tetap memilih menjadi atlet dengan hijab dan kostum yang tidak sesuai syariah atau cukup beraktivitas di rumah dan menjadi juara dengan membaca Quran.
Menghadapi kelompok ini, sangat menggoda utk SETUJU dengan pendapat bahwa HIJAB pada dasarnya MEMBATASI kaum perempuan. Maka dari awal sebaiknya muslimah TIDAK USAH TERLIBAT di ruang publik apalagi mengikuti olahraga beladiri khususnya Judo. Demi menghindari keributan, kehebohan dan kegenitan tak produktif, pendapat ini terlihat lebih masuk akal. Hanya saja, menyetujui pendapat ini sangat kontra produktif. Islam sendiri memberikan ruang bagi perempuan utk berperan aktif dan mengembangkan dirinya. Memiliki hak yang sama untuk beraktivitas di ruang publik termasuk di dalamnya menjadi atlet beladiri. Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dan telah terbukti memiliki kemampuan untuk membela tanah airnya mengharumkan bangsa negaranya di ajang olahraga.
Tafsir hijab sendiri juga tak tunggal. baik definisi, batasan aurat maupun bentuk hijab.
Bisa juga biar tidak berlama-lama membuat gaduh di wilayah olahraganya, sangat menggoda untuk mengikuti pendapat yang menyebutkan hijab dalam konteks menutup kepala dan rambut tidak wajib. Biar gaduhnya pindah ke wilayah Fiqih sekalian.
Selain tentu saja, faktor rasa hormat dan menghargai perjuangan para pecinta, praktisi, delegasi, dan atlet muslimah yang telah membuat hijab bisa diterima dan dihormati dengan segala kompromi bentuk dan desain hijab. Fakta ini terlalu mahal untuk dihapus dalam catatan sejarah dunia olahraga. Membatasi perempuan untuk menjadi atlet dengan alasan agama sebuah kemunduran bagi peradaban dan universalitas Islam itu sendiri.
Jadi, persoalan hijab ini pada akhirnya bukan lagi sekedar soal regulasi atau desain dan bahan hijab tapi sebetulnya akarnya ada pada kegenitan masyarakat dalam menjalankan keyakinannya. Menganggap dirinya adalah pusat dunia dan menjadi pemegang tunggal otoritas tafsir hijab dan syariah. Tak ada ruang dialog pada kelompok yang menganggap keterlibatan muslimah menjadi atlet tidak syar’i. Dialog masih mungkin dan bisa dilakukan HANYA jika mengenai bentuk dan desain Hijab sport.
Dalam kasus cabang olahraga Blind Judo yang belum mengakomodir Hijab sport sekalipun misalnya bisa dicari SOLUSI BERTAHAP. Lakukan kajian, susun solusi lalu diusulkan dan direkomendasikan secara resmi. Galang dukungan negara-negara Islam anggota federasi olahraga terkait dan lakukan dengan elegan dan resmi. Yang penting, lakukan jauh sebelum event olahraga tersebut digelar. Hal ini biasanya terjadi pada level internasional. Untuk pertandingan level nasional dan regional di kawasan ASEAN dan Timur Tengah, hijab sport relatif bisa digunakan.
(Tonton Juga: Bolehkah menggunakan Hijab di pertandingan Karate )
Atlet juga harus SADAR DIRI. Kalau memang cinta pada olahraga tersebut, pahami regulasi dan taati aturan. Protes dan keberatan bisa dicoba dilakukan saat technical meeting. Tetapi ketika protes ditolak, hormati dan ikuti. Mundur lebih baik. Kalau memang beritikad baik, maka patuhi aturan dan regulasi.
Bila belum ada aturan yang membolehkan hijab sport sekalipun misalnya, bisa dengan legowo untuk undur diri sejenak. Memberi kesempatan pada atlet lain dan/atau sambil menunggu proses rekomendasi yang sedang diupayakan.Butuh waktu. Bila kondisi nyata saat ini tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut dan solusi instan yang dicari, pertimbangkan untuk memasuki jalur kepelatihan.
Pahami, para pembuat regulasi dan aturan pertandingan olahraga tersebut, terutama untuk olahraga impor, adalah para praktisi, peneliti, ahli dan pecinta olahraga itu sendiri. Mereka bukan sekelompok orang rasis dan pelaku diskriminasi. Kepedulian pada keselamatan atlet adalah prioritas.
(Artikel ini diunggah juga di akun pribadi Alvein Damar)